WcBma5LrLOg50X66kF3p5HaCfJ41Lo99JHjSF8cx
Bookmark

4 Jenis Rasio Keuangan

4 Jenis Rasio Keuangan

4 Jenis Rasio Keuangan - Laporan keuangan itu merupakan sumber informasi kuantitatif bagi analis atau investor. Informasi ini dapat diubah dalam ukuran-ukuran yang lebih standar. Ukuran tersebut dikenal sebagai rasio keuangan. Rasio-rasio keuangan ini dipergunakan untuk menganalisis atau membandingkan laporan keuangan dari aspek kuantitatif.

Rasio-rasio keuangan dibagi menjadi empat kelompok, yaitu rasio-rasio likuiditas, rasio-rasio solvabilitas, rasio-rasio aktivitas, serta rasio-rasio untuk mengukur profitabilitas. Rasio-rasio yang berbeda mungkin akan lebih bermanfaat untuk tujuan tertentu. 

Analis yang berpengalaman sebelum  menghitung rasio lebih dahulu mempertimbangkan berbagai hal (wawasan) yang membantu memahami masalah yang ada. Baru kemudian analis menghitung rasio yang sesuai dengan tujuan dirinya. 

Untuk dapat hasil yang memuaskan, rasio yang diperoleh (berbagai tahun) dibandingkan dengan standar rasio, melihat perbedaannya, dan melakukan cross-check dengan berbagai rasio.

1. Rasio-rasio Likuiditas

Likuiditas mungkin merupakan kata terpenting bagi perusahaan. Likuiditas menunjukkan kemampuan untuk memenuhi semua kewajiban segera (lancar/jangka pendek). Untuk memenuhi kewajiban tersebut, perusahaan mestilah memiliki aset yang likuid (lancar). 

Secara umum, jumlah aset likuid ini mestilah lebih besar dari kewajiban lancarnya. Perbandingan antara aset likuid dan kewajiban lancar inilah yang dikenal sebagai rasio likuiditas. Rasio ini digunakan analis untuk menilai kemampuan perusahaan memenuhi kewajian keuangan sekarang (sampai 12 bulan ke depan) dengan cara mengukurketersediaan kas dan aset lancar.

Kreditor merupakan salah satu pihak yang berkepentingan terhadap rasio likuiditas. Biasanya kreditor membuat semacam aturan kredit dengan mensyaratkan (rule of thumb) besaran rasio ini, misalkan current ratio sebesar. 

Debitur yang menginginkan pinjaman dari kreditor tentu saja harus memenuhi rasio ini. Debitur dapat mengelola aset dan utang lancarnya sehingga rasio ini dapat dipenuhi. Rasio ini fokusnya sempit. Artinya, hanya sebagai alat penilai untuk kepentingan jangka pendek. 

Perusahaan yang tidak likuid seharusnya tidak serta-merta diartikan tidak dapat memenuhi kewajiban (segeranya). Namun, jika perusahaan tidak likuid, untuk beberapa industri tertentu, dikhawatirkan tidak dapat menjalankan aktivitas operasional sehari-hari sehingga akan mengganggu perusahaan secara keseluruhan. 

Perusahaan yang tidak ‘cukup’ memiliki uang kas, piutang, ataupun inventori dikhawatirkan tidak cukup memiliki bahan baku untuk proses produksinya. Kemanfaatan rasio ini dapat berbeda-beda antarperusahaan (industri). 

Terdapat tiga rasio likuiditas yang lazim dipakai, yakni current ratio (CR); quick ratio (QR), serta cash ratio (KR). CR merupakan rasio likuiditas dalam artian luas. Untuk mempersempit pengertian likuid (kemampuan bayar), dapat dipakai QR37 dan KR. 

Rasio lancar (CR) membandingkan secara langsung jumlah aktiva lancer dengan utang lancar. Secara umum, standar rasio ini adalah 1. Ini diartikan jumlah aktiva lancarnya setara dengan utang lancarnya. Besaran CR > 1 berarti perusahaan dalam keadaan likuid.

Sebaliknya, jika CR <1, perusahaan dalam keadaan illiquid. Rasio ini dapat mengalami distorsi karena pengaruh musim (memengaruhi jumlah inventori) atau karena terjadinya abnormal dalam utang dagang (account payable)

Jika suatu bisnis lebih stabil dan terprediksi (arus keluar-masuk kas), rasio ini dimungkinkan cukup rendah saja. Artinya, tidak diperlukan cadangan inventori dalam jumlah yang besar. Penghematan inventori ini akan menghemat biaya perusahaan, di antaranya biaya dana yang tertanam, biaya gudang, dan lain-lain. 

Rasio cepat (QR) setara dengan CR, tetapi definisi dari aset lancarnya lebih diperketat, yakni yang benar-benar kas atau near cash serta mudah dikonversi menjadi kas, seperti investasi pada surat berharga dan piutang. 

Pada rasio ini, besaran inventori dan aset-aset yang kadar illiquid-nya lebih tinggi dari inventori diabaikan (dikeluarkan). QR akan menghasilkan rasio yang lebih rendah dibandingkan CR. Tidak ada patokan pasti standarnya. Namun, jika QR>1, tentu saja perusahaan harus dikatagorikan liquid.

Rasio kas (CR) menunjukkan jumlah kas dan setara kas yang tersedia dibandingkan utang lancarnya. Rasio ini tentu saja menunjukkan ukuran likuiditas yang terbaik (paling likuid), tetapi harus berhati-hati dalam menafsirkannya. 

Pertama, tidak ada standar berapa patokan CR ini. Kedua, rasio yang besar (misal >1) justru dapat menunjukkan dana yang menganggur (idle). Jadi, dapat ‘berbenturan’ antara likuid dan mismanagement

Pada beberapa industri, sangat dimungkinkan hanya memerlukan jumlah kas yang sangat kecil. Dengan demikian, rendahnya rasio kas ini tidak serta-merta diartikan perusahaan ada pada kondisi illiquid.

2. Rasio-rasio Solvabilitas

Rasio-rasio ini ditujukan untuk mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka panjangnya. Fokus rasio ini adalah utang jangka panjang (long term debt; LTD). Karena itu, besaran LTD ini sebagai pembanding bagi berbagai variabel lainnya. 

Terdapat beberapa kriteria rasio solvabilitas. Pertama, dari komposisi pendanaan, biasanya ditunjukkan oleh rasio antara LTD dan ekuitas atau rasio LTD dan total asset-nya. Kedua, dari aspek proteksi bagi kreditor, jika perusahaan mengalami kerugian, biasanya ditunjukkan oleh rasio laba operasi (kas) terhadap jumlah dana (beban) yang disediakan oleh kreditor.

Rasio komposisi pendanaan umumnya ada dua, yakni debt equity ratio (DER) serta debt ratio (DR). Baik DER maupun DR sebenarnya sama (semakna): jika dihitung DER tinggi, DR juga akan tinggi. Untuk memahaminya, dapat diperhatikan pada neraca, yaitu sisi kiri adalah aktiva dan sisi kanan adalah pasiva yang terdiri atas utang dan modal sendiri.

Jadi, rasio pendanaan ini membandingkan aset dan utang serta membandingkan permodalannya sendiri, yakni antara utang dan modal sendiri. Berkenaan dengan utang, terdapat dua pengertian, yakni total utang atau utang jangka panjang. 

Secara umum, jika yang dipakai rasio DER, yang dipakai adalah utang jangka panjang (LTD). Akan tetapi, jika yang dipakai adalah rasio utang (DR), yang dipakai adalah total utang. Kedua rasio ini untuk proteksi pada kreditor. Secara rutin, dana kreditor harus dikembalikan (dibayar), tidak tergantung pada situasi bisnis. 

Dengan adanya rasio ini, diharapkan dapat menjadi ukuran kesehatan perusahaan dalam memenuhi kewajibannya pada kreditor. Rasio yang lazim dipakai, yakni times interest earned ratio (TIER) atau biasa disebut juga sebagai covered ratio (Cov). 

TIER dihitung berdasarkan rasio laba operasi (EBIT) terhadap beban bunga perusahaan. Secara lebih luas, dapat ditambahkan beban nonkas41 seperti depresiasi sehingga dikenal sebagai EBITDA. Penggunaan EBIT menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba operasi, sedangkan penggunaan EBITDA menunjukkan besaran kas yang tersedia untuk menutupi beban bunga. 

Kadang-kadang laba operasi dibandingkan dengan semua beban tetap harus dibayar perusahaan, bukan hanya beban bunga, tetapi juga beban dividen (saham preferen) serta beban leasing.

3. Rasio-rasio Aktivitas

Rasio ini menunjukkan bagaimana aktivitas perusahaan telah dijalankan jika dihubungkan dengan aset-aset perusahaan. Aktivitas tersebutsecara umum ditunjukkan melalui besaran penjualan (sales). Dengan demikian, penjualan menjadi patokan bagi berbagai besaran komponen aset. 

Rasio ini dikenal dengan istilah perputaran (turnover; TO). Makin tinggi turnover, perusahaan makin aktif dan dianggap semakin baik. Namun, berapa angka patokan rasio aktivitas tidaklah ada ukurannya (tergantung pada industri masing-masing). 

Jika perusahaan menambah aset-aset baru (biasanya bebannya lebih mahal), akan diperoleh rasio yang lebih rendah. Karena pengaruh inflasi, perusahaan dengan aset-aset yang lebih baru akan mendapat rasio turnover yang lebih rendah. 

Biasanya, ada empat istilah perputaran, yakni berkenaan dengan piutang, inventori, aset tetap, serta aset total. Biasanya, penjualan memang dihubungkan dengan keempat variabel tersebut. Jadi, akan dikenal istilah account receivables turnover (ARTO), inventory turnover (ITO), fixed assets turnover (FATO), dan total assets turnover (TATO). 

Selain keempat rasio di atas, ada dua rasio lain yang sering dipergunakan, yakni receivables to sales (RS) serta average collection periods (ACP). Rasio RS sebenarnya merupakan kebalikan dari ARTO. Rasio ini menunjukkan besarnya persentase piutang terhadap penjualan. 

Rasio ini mengindikasikan besarnya persentase penjualan secara tidak tunai (piutang). Tentu saja, makin tinggi rasio ini mengindikasikan hal kurang baik. Jika rasio sebesar 10%, itu berarti 10% penjualan berupa kredit (piutang). Rasio ACP menunjukkan rerata lama waktu setiap piutang. 

Rasio ini cenderung dijadikan sebagai indikator untuk kebijaksanaan kredit perusahaan. Karena berkenaan dengan waktu, makin tinggi rasio ini indikasinya, makin buruk.

4. Rasio-rasio Keuntungan

Ada dua cara mengukur rasio keuntungan. Pertama, keuntungan sebagai persentase dari penjualan. Sebagai persentase dari penjualan, dikenal sebagai margin laba (profit margin). Terdapat beberapa rasio yang lazim, yaitu margin laba kotor (gross profit margin; GPM); margin laba bersih (net profit margin; NPM); dan kadang juga dikenal margin laba operasi (operating profit margin; OPM).

Pada umumnya, yang dimaksudkan keuntungan adalah laba akhir (EAT) walaupun dalam beberapa hal ada pula yang menyatakan sebagai laba operasi (EBIT). Sementara itu, besaran dana yang diinvestasikan pada umumnya adalah assets (A) dan ekuitas (E). Dua rasio yang paling umum adalah return on asset (ROA) dan return on equity (ROE). 

Secara umum (dalam nilai absolut), besaran ROA<ROE. Bagi investor, ROE merupakan ukuran yang tertepat untuk mengukur kinerja karena return dibandingkan dengan besaran dana sendiri yang diinvestasikan. Karena itu, fokus bagi investor adalah meningkatkan ROE.

0

Post a Comment